Syaikhah Rahmah el-Yunusiyyah: Pelopor Sekolah Islam Putri Pertama di Indonesia
by Mayola Andika (Yollandika10@gmail.com)
“Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa?” –Rahmah,
1923
Kutipan diatas memberi makna bagi kita bahwasanya setiap individu memiliki kesempatan untuk membuat perubahan yang berarti. Terlepas dari status sosial dan gender yang seringkali menjadi tolak ukur di masyarakat dewasa ini.
Sosok Rahmah el-Yunusiyyah seakan menyadarkan kita akan pentingnya kesetaraan kaum perempuan agar tidak terbelakang khususnya bidang pendidikan. Hal ini didasari dengan salah satu hadis Rasulullah SAW yang berbunyi “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”. Hal ini juga menjadi sebuah dorongan bagi Rahmah untuk mengubah perspektif dan tradisi lama yang mengakar di masyarakat pada zamannya, bahwa hidup perempuan tidak jauh-jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pendidikan lebih diutamakan bagi kaum laki-laki daripada perempuan. Kegelisahan Rahmah menjadi titik awal terbentuknya sebuah gagasan perubahan. Ia ingin mendirikan sekolah khusus putri agar perempuan tidak hanya menjadi figur Ibu yang terampil namun juga cerdas. Karena Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak.
Niat baik Rahmah mendapat dukungan penuh dari sang kakak Zainuddin Labay el- Yunusi. Pada tanggal 1 November 1923 berdirilah sebuah sekolah Islam Putri pertama di Indonesia yang berlokasi di kota Padang Panjang. Sekolah tersebut diberi nama “Almadrasatu al-Diniyyah” (Sekolah Diniyyah Puteri). Sampai saat ini, Diniyyah Puteri semakin berkembang dan melahirkan alumni-alumni terbaik yang tersebar di berbagai daerah. Beberapa diantaranya menjadi tokoh publik yang berkontribusi di masyarakat. Langkah konkrit Syaikhah Rahmah el-Yunusiyyah dalam memajukan pendidikan perempuan sangat menginspirasi. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan perjuangan Syaikhah Rahmah yang belum banyak diketahui khalayak ramai. Penulis juga akan menelusuri sejarah berdirinya Sekolah putri pertama yang didirikan Rahmah el-Yunusiyyah di Padang Panjang berikut dengan bukti dokumentasi terkait. Beberapa fakta mengenai aktifitas progresif Syaikhah Rahmah akan dijelaskan lebih dalam.
A. Mengenal Syaikhah Rahmah El-Yunusiyyah
Rahmah el-Yunusiyyah merupakan ulama asal minangkabau yang berkiprah dalam memperjuangkan pendidikan perempuan di Indonesia. Perempuan yang akrab disapa‘tek Amah’ ini lahir pada tanggal 20 Desember 1900 M di kenegerian Bukit Surungan, Padangpanjang, Sumatera Barat. Ibunya bernama Rafi’ah berasal dari kabupaten Langkat Bukittinggi dan masih berdarah keturunan ulama. Empat tingkat diatasnya memiliki hubungan dengan mamak Haji Miskin, salah seorang anggota harimau nan salapan1 dan tokoh pembaharu gerakan Paderi. Ayahnya seorang ulama besar bernama Muhammad Yunus yang juga dikenal sebagai hakim/qadhi di daerah Pandai Sikat. Kakeknya bernama Syeikh Imaduddin juga dikenal sebagai ulama ahli ilmu falak dan tokoh tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Tanah Minang.
Pada masa kecilnya Rahmah dikenal sebagai anak yang berkemauan kuat dan bercita-cita tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kegigihannya dalam menimba ilmu secara mandiri. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi, Rahmah banyak belajar kepada sang kakak Zainuddin Labay el-Yunusi dan Muhammad Rasyad. Kedua kakaknya ini belajar di sekolah Gubernermen milik pemerintahan Belanda, yang kemudian menjadi murid dari Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Payakumbuh (wafat 1967). Rahmah juga ikut bersekolah di Diniyyah School –sebuah perguruan Islam berbasis modern- yang didirikan kakaknya Zainuddin Labay pada tahun 1915. Keahlian dalam menguasai bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Belanda oleh kakaknya Zainuddin, membantu Rahmah dalam mengakses sejumlah literatur asing. Hal ini memudahkan Rahmah untuk menguasai berbagai macam keilmuwan. Ia sangat tekun dan rajin serta dikenal sebagai perempuan yang cerdas.3
Tidak sampai setahun bersekolah Rahmah dijodohkan dengan seorang ulama muda bernama Bahauddin Lathif4 dari Sumpur, Padangpanjang. Pada saat itu Rahmah masih berusia 16 tahun. Di samping menjadi guru agama, Bahauddin Lathif juga terjun ke gelanggang politik Minangkabau. Berbeda dengan Rahmah, ia lebih memilih aktif di bidang pendidikan tanpa diiming-imingi aliran politik apapun. Karena perbedaan pendirian ini, Haji Bahauddin Lathif menceraikan Rahmah secara baik-baik.5 Penikahan Rahmah berlangsung selama enam tahun dan tidak memiliki anak. Setelah bercerai, Rahmah tidak menikah lagi dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada sekolah putri yang didirikannya.Sembari mengikuti pembelajaran di Diniyyah School yang sifatnya ko-edukasi, timbulah beberapa kegelisahan di dalam diri Rahmah. Ketika bercampurnya murid laki- laki dan perempuan dalam kelas yang sama, perempuan menjadi tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam proses pembelajaran. Ia mengamati berbagai persoalan dalam perspektif fiqh yang tidak dijelaskan secara rinci oleh guru laki-laki. Untuk itu, ia mengajak beberapa temannya Rasuna Said dari Maninjau, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Djawana Basyir dari Lubuk Alung untuk membuat kelompok belajar yang membahas seputar permasalahan agama dan persoalan perempuan kepada Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Haji Rasul) ayah dari Alm. Buya Hamka di Surau jembatan besi.6 Melalui proses pembelajaran inilah Rahmah terinspirasi untuk membuat sekolah khusus putri. Menurutnya, perempuan harus mengetahui lebih dalam pembahasan fiqh ataupun pembelajaran seputar persoalan perempuan. Perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan seperti laki-laki.
Niat baik Rahmah ini diutarakan kepada sang kakak, guna mendapat restu dan dukungan. Sang kakak menyetujui dan mendukung penuh cita-cita Rahmah ini begitupun rekan-rekannya yang tergabung dalam PMDS7 (Persatuan Murid Diniyyah School). Didirikanlah sekolah khusus putri pertama pada tanggal 1 November 1923 dengan nama Madarasah Diniyyah li al-Banat yang berlokasi di Mesjid Pasar Usang. Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri.
Rahmah berpulang pada hari Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriyah bertepatan dengan 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 di rumahnya Padang Panjang, Rahmah El- Yunusiyah wafat pada usia 68 tahun 2 bulan. Jenazah Rahmah dikebumikan di pemakaman keluarga yang berlokasi disamping rumahnya, tepatnya disamping asrama Diniyyah Puteri.8 Meskipun jasadnya telah tiada namun jasa peninggalan dan perjuangannya bagi perempuan masih bisa terus dikenang. Pengorbanan dalam hidupnya tidaklah sia-sia, perjuangan dan dedikasinya dalam bidang pendidikan banyak memberi manfaat yang besar bagi agama, kehidupan masyarakat dan negara khususnya perempuan. Inilah nama besar Rahmah El-Yunusiyah sebagai ulama perempuan yang memperjuangkan pendidikan perempuan Indonesia.
1 Harimau nan Salapan merupakan dewan perkumpulan delapan orang tokoh-tokoh Islam yang berbaiat untuk melakukan pembersihan umat Islam Minangkabau, karena telah terjadi kemerosotan kehidupan umat manusia Minangkabau saat itu. 2 Hamruni, “Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyyah”. Dalam JurnalKependidikan Islam. Vol II, No 1, tahun 2004, hlm. 108 3 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah, (Padang Panjang: DRC Publishing, 2019), hlm. 7 4 Beliau merupakan putra dari seorang ulama yang beraliran Thariqat Naqsyabandi di Negeri Sumper yang bernama Syekh Abdul Lathif. 5 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 11. 6 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 8. 7 PMDS (Persatuan Murid Diniyyah School) merupakan sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun 1922. Rahmah diberi amanah untuk menjadi ketua sekaligus anggota pengurus dari bagian putrinya. 8 Luluk Rohmatun Isnaini, “Ulama Perempuan Dan Dedikasinya Dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”, Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vol I. No Tahun 2016. hlm. 6.
Gambar 1: Makam Rahmah el-Yunusiyyah yang berlokasi disamping gedung asrama Diniyyah
Puteri
B. Aktifitas Progresif Rahmah el-Yunusiyyah
1. Zaman Penjajahan Belanda
Pada tahun 1924, sang kakak Zainuddin menghembuskan nafas terakhirnya. Hal ini tentu meninggalkan luka yang mendalam bagi Rahmah. Ia berupaya untuk mempertahankan pondok pesantren yang telah dibangunnya sendiri tanpa kehadiran sang kakak. Ketika datang bencana gempa hebat yang meluluhlantakkan gedung sekolah yang dibangunnya, Rahmah mendapat banyak tawaran bantuan salah satunya oleh pemerintah Belanda. Sekolah akan disubsidi penuh dengan syarat Diniyyah Puteri menjadi lembaga dibawah pengawasan pemerintahan Belanda. Dengan tegas Rahmah menolak bantuan tersebut. Ia tidak ingin ada campur tangan Belanda yang akan mengawasi dan mengatur sistem pendidikan yang susah payah ia rancang. Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Setiap orang boleh berpolitik, namun perguruan tidak boleh dilibatkan. Prinsip Rahmah ini pun sampai sekarang masih terus di pertahankan. Rahmah mengumpulkan uang dari hasil ceramah di daerah Sumatera untuk perbaikan gedung yang rusak.9 Seiring berjalannya waktu gedung sekolah selesai dibangun dan semakin berkembang hingga saat ini.
Rahmah merupakan figur perempuan yang tidak hanya berperan di ranah domestik pesantrennya, akan tetapi beliau aktif berkontribusi demi kemaslahatan umat pada masa penjajahan. Pada akhir masa penjajahan Belanda, enam orang pejuang kemerdekaan Indonesia ditangkap Hindia Belanda, dengan tuduhan mengahasut rakyat untuk mengadakan demonstrasi menentang dan memusuhi pemerintah Belanda. Enam orang tersebut diantaranya Chatib Sulaiman, Leon Salim, Chaidir Gazali, St. Rajo Bujang, A. Murad Sa’ad dan Dt. Mandah Kayo. Mereka ditangkap di Padang Panjang dan dibawa ke daerah Sumatera Utara. Di Padang Panjang dibentuklah panitia untuk mencari keenam pemuda tersebut. Salah seorang pemrakasa dan anggota panitia adalah Rahmah el-Yunusiyyah. Seorang figur ulama perempuan yang berani dan tidak takut dengan ancaman untuk melawan musuh.
Masih pada zaman penjajahan Belanda di tahun 1932, Belanda mengeluarkan dua peraturan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan kalangan perguruan swasta (disebut oleh Belanda sebagai sekolah liar), yaitu peraturan kawin bercatat dan peraturan untuk sekolah liar. Peraturan ini banyak mendapat pertentangan dari berbagai kalangan. Untuk melakukan penolakan ordonansi tersebut, dibentuklah beberapa panitia. Untuk panitia Ordonansi kawin bercatat di Bukittinggi dan panitia penolak Ordonansi sekolah-sekolah liar di Padang Panjang diketuai oleh Rahmah.10 Rahmah pada tahun itu didenda 100 gulden oleh pengadilan, karena ia dituduh melakukan atau mengetuai Rapat Kaum Ibu di Padang Panjang, membicarakan politik. Walaupun pada saat itu Rahmah sama sekali tidak merasa melibatkan dirinya dan membicarakan perihal dunia politik, namun ia tetap di tuduh melakukan politik.11
2. Masa Penjajahan Jepang
Kehidupan seluruh bangsa Indonesia semakin bertambah sulit pada masa penjajahan Jepang ini. Hampir semua sekolah pada masa itu disuruh berkebun dengan menanam pohon jarak yang buahnya akan dijadikan minyak pesawat terbang. Pemuda-pemuda dijadikan romusha ke Birma untuk membuat jalan keretaapi atau dikirim ke Loge Pekanbaru untuk membuat jalan kereta api sebagai sarana perhubungan tentara Jepang dalam melawan sekutu. Seluruh pendidikan di Indonesia diarahkan kepada militer dan bahasa Jepang.12
Pada masa penjajahan Jepang ini, Rahmah juga memperhatikan keadilan sosial dan kehidupan masyarakat yang dari hari ke hari semakin menderita akibat peperangan dan tekanan penjajah. Melihat keadaan seperti ini, Rahmah tidak ingin berdiam diri. Dari dapur keluarga dan asrama, setiap memasak nasi harus dipisahkan beras genggaman dan dikumpulkan sekali seminggu. Begitu pula kepada masyarakat sekitar dianjurkan untuk menggalakkan beras jumputan untuk membantu fakir miskin yang setiap hari berdatangan ke kediaman Rahmah di kompleks Diniyyah Puteri.
Untuk membantu Rakyat yang tidak memiliki pakaian lagi, bahkan sudah memakai goni, Rahmah segera bertindak. Ia bergegas menggunting celana dan baju dari kain taplak meja makan asrama, kain-kain tutup rak buku, dan dari layar belacu pelingkari kolam di hadapan sekolah yang digunakan murid-murid sekali seminggu untuk berenang di pagi hari. Murid-murid diminta untuk memotong baju mereka sepanjang satu jengkal, kemudian disambung-sambungkan dan digunting untuk dijadikan baju dan celana yang akan disumbangkan kepada fakir miskin yang membutuhkannya. Kegiatan ini dilakukan bersama sebuah badan bernama ADI (Anggota Daerah Ibu).13
Melalui kegiatan ADI ini pula Rahmah mempertahankan dan memperjuangkan gadis serta janda-janda Indonesia dari keinginan tentara Jepang untuk dijadikan penghibur dan pemuas nafsu mereka. Ia juga mendesak agar rumah prostitusi yang ada di Minangkabau agar segera ditutup. Permintaan itu pada akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Jepang. Selain aktif di ADI Rahmah juga merupakan ketua dari Haha No Kai Sumatera Tengah dan Gyu gun Ko En Kai yang membantu pemuda Indonesia dalam barisan Gyu gun sebagai alat perjuangan bangsa. Rahmah juga duduk sebagai anggota dari Majlis Islam Tinggi, sebuah organisasi keagamaan yang berpusat di Bukittinggi.14
Pada Maret 1945 sekolah Diniyyah Puteri pernah dijadikan sebagai Rumah Sakit yang menampung korban kecelakaan kereta api yang terjadi di daerah Lembah Anai, arah ke Padang. Sekolah dijadikan Rumah Sakit untuk kedua kalinya ketika terjadi kecelakaan kereta api di Bintungan Padang Panjang. Peranan Diniyyah Puteri untuk membantu para korban ini diberi apresiasi oleh pemerintahan Jepang berupa piagam penghargaan.15
9 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 30. 10 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 11. 11 Nafilah Abdullah, “Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)” dalam Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial (1900-1969), Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 67 12 Nafilah Abdullah, “Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)” dalam Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial (1900-1969),...hlm. 71. 13 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 34. 14 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 34. 15 Disarikan dari Milestone Perjuangan Bunda Rahmah yang ada di Museum Rahmah el-Yunusiyyah
3. Zaman Indonesia Merdeka
Setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tahun 1945 dan Soekarno- Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, berkibarlah Sang Saka Merah Putih. Setelah berita proklamasi ini mantap diterima oleh Rahmah, ia bergegas mencari bendera Merah Putih dan langsung menggereknya pada tiang bendera di depan perguruannya. Dapat dikatakan bahwasanya Rahmah adalah orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di wilayah Padang Panjang. Setelah itu disusul oleh satu per satu masyarakat Padang Panjang.
Dua bulan berselang hari kemerdekaan, Rahmah mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang terdiri dari bekas laskar Gyu Gun yang pernah mendapat pelatihan pada masa pemerintahan Jepang menjajah. Dapur asrama dan rumah kediamannya kemudian dijadikan tempat untuk pembinaan tentara keamanan tersebut. Pembuatan atribut dan kepangkatan militer dibantu oleh murid-muridnya. Rahmah tidak hanya akrab dengan barisan BKR, TKR, dan TNI saja, akan tetapi ia juga berperan mengayomi organisasi Islam lain seperti Laskar Sabilillah, Hizbullah, dll. Karena perjuangannya tersebut, Rahmah terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partai Masyumi.16 Pada bulan Desember 1948 Belanda melancarkan agresi ke II. Kota Padang Panjang diserang melalui sektor udara. Rahmah memimpin dapur umum untuk TNI dan barisan pejuang, kemudian menyingkir ke luar kota waktu tentara Belanda memasuki kota Padang Panjang.17 Perjuangan Rahmah menjadi hambatan bagi penguasa militer Belanda. Untuk itu, Rahmah ditangkap di tempat persembunyiannya yaitu di lereng Gunung Singgalang, atas petunjuk seorang pengkhianat yang memberi petunjuk kepada militer Belanda dimana Rahmah berada. Ia ditempatkan di ruangan bekas SPG Negeri Puteri Padang Panjang, kemudian dibawa ke Padang. Rahmah baru meninggalkan kota Padang setelah diizinkan penguasa Belanda untuk menghadiri Kongres Pendidikan Antar Indonesia di Yogyakarta. Selama dalam tahanan Rahmah tidak pernah diintrogasi.18 Pada tanggal 1 November 1948 diadakanlah perayaan dalam rangka memperingati 25 tahun (seperempat abad) Diniyyah Puteri dan meresmikan Tugu peringatan 25 tahun Diniyyah Puteri Padang Panjang.
16 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 36. 17 Disarikan dari Milestone Perjuangan Bunda Rahmah el-Yunusiyyah 18 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 36.
Gambar 2 : Foto Tugu Peringatan 25 Tahun Diniyyah Puteri zaman dulu dan sekarang
Bagian dan Makna Tugu peringatan ini adalah:19
1. Voetstuk (kaki) tugu
2. Alas / dasar tugu
3. Badan.
4. Puncak
1. Kaki tugu yang berbentuk segi empat, dengan tiga buah anak tangga berarti: Pertama, Diniyah Putri mengajarkan kepada anak didiknya supaya mengerti dengan filsafat jalan yang empat yaitu: Jalan Mendatar , Jalan melereng, Mendaki, dan jalan menurun. Kedua, Perguruan Diniyah Putri dengan perjuangannya telah tersebar merata ke segenap penjuru angin yang empat yaitu: Dari Timur ke Barat dan Dari Utara ke Selatan, ketiga Tiga buah anak tangga bermakna bahwa Perguruan Diniyah Putri sudah menempuh tiga masa yakni: a) Masa penjajahan Belanda, b) Masa penjajahan Jepang, dan c) Masa Kemerdekaan. Adapun tanah berbentuk segitiga tempat berdirinya tugu, mengandung makna, bahwa Diniyah Putri dalam amalnya di bidang pendidikan tidak keluar dari: a) Taat kepada Allah, b) Taat Kepada Rasul, dan c) Taat kepada Ulil Amri, dalam hal ini kepada Pemerintah.
2. Alas/Dasar Tugu, berbentuk segilima artinya: Perguruan Diniyah Putri dalam perjuangannya berusaha terlaksanannya Rukun Islam yang lima di dalam masyarakat dan negara Republik Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila.
3. Badan Tugu
Pertama, Bagian bawah bergambar buku–buku tebal bersusun tegak berarti, bahwa Perguruan Diniyah Putri, berusaha meningkatkan mutu Pendidikan dengan meningkatkan ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum. Kedua, bagian Tengah merupakan medan dan kancah perjuangan Perguruan Diniyah Putri dalam menegakkan agama Islam dan mempertahankan kemerdekaan tanah air Indonesia, senan tiasa berlandaskan keimanan, keyakinan, dan ketabahan.
4. Puncak Tugu berbentuk Bola dunia dengan tangan memegang lilin berarti:
a. Dengan kesatuan Iman, Ilmu, dan Amal, Diniyah Putri ingin menyebarluaskan Agama Islam, ke seluruh penjuru dunia.
b. Ajaran dan pendidikan Islam itu bersifat Universal.
c. Tangan memegang lilin mengandung makna kepemimpinan dan kepengurusan yang bertanggung jawab di dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran, guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dan melambangkan peranan Diniyah Putri di tengah persada tanah air, sebagai juru “Penerang”, “pengajar”, “pendidik”, “penuntun” dan “pemimpin” umat ke jalan yang diridhoi Allah SWT, serta berbuat hanya karena Allah, Ikhlas tanpa pamrih. Adapun lima tiang yang dihubungkan oleh lima puluh mata rantai, berarti bahwa dengan bimbingan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, keluarga besar Diniyah Putri makin mempererat persatuan dan kesatuan untuk mengemban tugasnya menciptakan kesejahteraan masyarakat di dalam negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Sedangkan jalan lurus yang terbentang di muka tugu, berarti bahwa Perguruan Diniyah Putri dengan pendidikannya berusaha mengarahkan putri-putri muslimat Indonesia kepada tindakan-tindakan yang benar, serta menjauhi penyelewenganpenyelewengan. Tetap berjalan di jalan yang lurus/ lempang serta amar makruf nahi mungkar.
19 Tim Penyusun. Peringatan 55 Th Diniyah Putri Padang Panjang. Jakarta: Ghalia Indonesia. hlm. 34. Lihat juga Nafilah Abdullah, “Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)” dalam Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial (1900-1969),...hlm. 61.
Pada tahun 1955, Diniyyah Puteri membangun sebuah gedung baru di dekat lapangan Pasar Usang. Para santri dengan semangat bergotong royong membawa batu yang diambil dari Lubuk Mata Kucing. Rahmah pun pada saat itu bersusah payah mengumpulkan uang pembangunan gedung. Pada saat pondasi sudah dikerjakan dan tembok sudah mulai meninggi, ada sekelompok oknum yang tidak bertanggungjawab dari Kota Laweh yang kabarnya adalah kelompok PKI lengkap dengan pesenjataannya seperti sabit, clurit, kapak, dll, untuk membongkar kembali bangunan yang bersusah payah ditegakkan. Semuanya diporak-porandakan. Pada saat itu santri menangis dan sedih. Rahmah dengan kesabarannya yang luas berupaya menenangkan para santri dan berdoa kepada Allah memohon taufik dan hidayah-Nya atas cobaan yang menimpanya ini.20
Selain berkemauan kuat, Rahmah juga dikenal sebagai anak yang tekun menuntut ilmu apa saja. Sekitar tahun 1931-1935 Rahmah mengikuti kursus Ilmu kebidanan di rumah sakit Umum Kayu Tanam dan mendapat izin praktek dari dokter. Rahmah juga mempelajari olahraga dan senam dari Mej Oliver seorang guru Normal School di Guguak Malintang, kemudian mempelajari dan menekuni berbagai keterampilan yang mestinya dimiliki oleh kaum perempuan seperti memasak, menenun, dan menjahit.21
Sebagai seorang perempuan, Rahmah ingin pendidikan bisa diakses oleh kaumnya untuk mengangkat derjat kaum perempuan tersebut. Wacana yang digagas oleh Rahmah bukanlah upaya ‘membebaskan’ atau ‘memerdekakan’ seperti konsep emansipasi Barat. Hakikatnya, perempuan dalam tatanan adat minang memang tidak sedang terjajah oleh kaum pria. Ia hanya menginginkan kaum perempuan mendapatkan posisi sebagaimana ajaran Islam menempatkan posisinya dalam bidang pendidikan. Perempuan bisa meningkatkan mutu pendidikannya tanpa mengabaikan fitrah dan perannya sebagai seorang perempuan. Visi Rahmah tentang peran perempuan adalah peran dengan beberapa segi: sebagai pendidik, pekerja sosial demi kesejahteraan masyarakat, teladan moral, muslim yang baik dan juru bicara untuk mendakwahkan pesan-pesan Islam. Sosok idealnya perempuan menurut pemikiran Rahmah adalah dirinya sendiri, figur seorang Ibu, jika menyanggupi menjadi guru bagi murid-muridnya, kemudian bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak. Semangat Rahmah dalam memperjuangkan pendidikan perempuan perlu kita teladani. Ia tidak menginginkan kaumnya hanya berdiam diri di rumah menunggu dijemput untuk dijodohkan seperti tradisi yang sudah ada sebelumnya. Ia ingin kaum
20 Wawancara dengan Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Diniyyah Puteri Padang Panjang, Bapak Fauzi Fauzan, Lc. Beliau merupakan cicit dari Rahmah el-Yunusiyyah. 21 Hamruni, “Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyyah”....hlm. 110.
perempuan dapat mempersiapkan dirinya untuk menjadi Ibu cerdas dan terampil, yang nantinya akan melahirkan generasi terbaik penerus bangsa.
Langkah kongkrit Rahmah untuk memajukan pendidikan perempuan ini mendapat apresiasi dari banyak kalangan, salah satunya dari Rektor Al-Azhar University, Syekh Abdur Rahman. Pada tahun 1955 ia mengunjungi Diniyyah Puteri dan menyatakan kekagumannya. Hal tersebut menjadi acuan bagi kampus Internasional sekelas al-Azhar Mesir untuk mendirikan pendidikan khusus perempuan pula. Dalam kunjungan tersebut, Rahmah diberi gelar kehormatan ‘Syaikhah’.22 Rahmah adalah ulama perempuan yang pertama kali mendapatkan gelar istimewa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang menguasai bidang tertentu tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwasanya perjuangan Rahmah dalam memajukan pendidikan perempuan tidak diakui secara nasional saja namun dunia Internasional juga.
C. Mengenal Diniyyah Puteri: Sekolah Islam Puteri Pertama di Indonesia yang Didirikan Syekhah Rahmah el-Yunusiyyah
1. Letak Geografis
Diniyyah Puteri merupakan salah satu sekolah khusus putri pertama di Indonesia. Sekolah ini berlokasi di Pasar Usang, wilayah Padang Panjang Barat, tepatnya di jalan Abdul Hamid Hakim No. 30 Padang Panjang. Lokasi ini sangat strategis dan mudah dijangkau karena dekat dengan akses jalan raya dan pusat kota.
Gambar 3: Suasana Jalan Raya depan Pondok Pesantren Diniyyah Puteri
22 Prilia Wulandari, “Perempuan Di Sektor Publik Dalam Perspektif Islam (Pandangan Progresif Rahmah El-Yunusiyah Dalam Kepemimpinan Sebagai Ulama Dan Pelopor Pendidikan Muslimah Indonesia)”, dalam Jurnal Agenda, Vol I, No, I, Desember 2017, hlm. 22.
Gambar 4: Tampak Depan Sekolah Diniyyah Puteri
Di sebelah Selatan lingkungan Diniyyah Puteri terdapat pondok Pesantren lainnya, seperti Thawalib Putra23 Padang Panjang yang berdekatan dengan wilayah asrama. Di sebelah Utara asrama seberang jalan, terdapat mesjid Ashliyah Pasar Usang. Pada masa Rahmah baru mendirikan sekolah Diniyyah Puteri, mesjid tersebut pernah difungsikan sebagai tempat belajar sementara para santri dan juga penginapan bagi orang tua yang menjenguk anaknya di asrama. Gedung Diniyyah Puteri terdiri dari gedung sekolah dan asrama yang terpisah dengan jalan raya. Luas gedung sekolah adalah 3,2 hektar, sedangkan luas wilayah asrama adalah 3,1 hektar.24
2. Dinamika Sejarah Berdirinya Diniyyah Puteri
Diniyyah Puteri merupakan pondok pesantren khusus puteri yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyyah pada tanggal 1 November 1923. Sekolah ini didirikan oleh Rahmah karena terinspirasi oleh kakaknya Zainuddin Labay el-Yunusy yang telah mendirikan Diniyyah School pada tahun 1915. Rahmah el-Yunusiyyah merupakan murid dari sejumlah Syekh dan ulama di Minangkabau yang bercita-cita luhur untuk
23 Perguruan Thawalib memulai sistem pendidikannya dengan pengajaran berhalaqah di bawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad di Surau Jembatan Besi Padangpanjang (sekarang mesjid Zuama’). Pada tahun 1911 Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Ayah buya Hamka) merubah sistem halaqah ini menjadi sistem klasikal. 24 Wawancara dengan Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Diniyyah Puteri Padang Panjang, Bapak Fauzi Fauzan, Lc. Beliau merupakan cicit dari Rahmah el-Yunusiyyah.
menaikkan derjat kaum perempuan. Beliau berpendapat bahwa pendidikan bagi perempuan penting, karena perempuan akan menjadi Ibu dan tiang dalam rumah tangga. Ibu yang terdidiklah yang dapat mengasuh anak dengan baik dan dapat melahirkan generasi yang baik pula. Para Ibu yang memiliki mimpi besarlah yang akan melahirkan orang-orang besar pula.25
a. Pembangunan Gedung Sekolah
Pada tahap awal, sekolah diberi nama “Almadrasatul Diniyyah” atau Meisjes Diniyyah School yang dipimpin langsung oleh pendirinya Rangkayo Rahmah el- Yunusiyyah, yang kemudian lebih akrab dipanggil “Kak Amah” oleh murid- muridnya. Sekolah ini belum memiliki gedung sendiri. Murid sebanyak 71 orang yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga dan beberapa remaja puteri belajar di Mesjid Pasar Usang (sekarang dikenal dengan Mesjid Ashliyah). Murid - murid duduk bersila diatas tikar (belum memiliki bangku, kapur dan papan tulis) menghadap ke guru untuk menerima pelajaran. Kitab-kitab yang diajarkan berbahasa arab dan guru menerangkan dengan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1924, Rahmah mendirikan Sekolah Menyesal. Sekolah ini ditujukan untuk para ibu yang sudah berkeluarga, namun belum bisa membaca dan menulis baik huruf latin maupun arab, atau sekarang dikenal dengan Paket A atau B.26 Pada tahun 1927, timbulah keinginan untuk membangun gedung sendiri. Dibangunlah sebuah gedung sekolah berlantai dua yang terdiri dari 3 lokal di lantai bawah dan lantai atas ruangan lepas untuk asrama. Ruangan baru tersebut ditempati oleh 275 murid dari 350 murid. Sebanyak 75 orang murid tinggal bersama orang tuanya.
Gambar 5: Gedung Asrama
Diniyyah Puteri sekitar tahun
1990-an.
Sumber: PR Diniyyah Puteri
25 Ezi Fadilla, “Resepsi Terhadap Konsep Aurat dalam Al-Qur’an dan Hadis dalam Penggunaan Lilit” dalam Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017), hlm. 58. 26 Disarikan dari Milestone Perjuangan Hidup Rahmah dari Museum Rahmah el-Yunusiyyah
Gambar 6: Santri Diniyyah Puteri Tempo Dulu
Gambar 7: Gedung Asrama Diniyyah Puteri Padang Panjang Saat Ini
Pada tahun 1936 Rahmah mendirikan sekolah tenun yang bertempat di kompleks Sekolah Diniyyah Puteri, tepatnya di ruangan bawah asrama Barat. Motivasi Rahmah memberikan pelajaran ini kepada muridnya adalah untuk menanamkan rasa cinta kepada hasil karya sendiri. Perempuan harus memiliki pendirian yang sabar, tabah, dan lapang dada dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Seperti layaknya menenun, kita akan menemukan permasalahan benang yang kusut atau benang yang putus. Disana santri dilatih untuk sabar mengurai benang yang kusut dan tidak terburu-buru dengan
memeriksa terlebih dahulu pokok permasalahannya. Begitu pula ketika menyambung benang yang putus, memberikan pendidikan bahwasanya seseorang harus berusaha menghubungkan kembali silaturahmi yang terputus dengan bijaksana.27
Gambar 8: Gedung Mesjid An-Nur Diniyyah Puteri yang dulunya adalah bekas lokasi gedung sekolah Tenun yang didirikan Rahmah
Seiring berjalannya waktu, perhatian masyarakat untuk menyekolahkan puteri-puteri mereka ke Diniyyah Puteri semakin bertambah. Surat-surat perihal meminta santri Diniyyah Puteri menjadi tenaga pengajar mulai masuk. Hal ini tentu bisa menjadi sebuah kebanggaan, akan tetapi Rahmah belum puas dengan hasil yang ada. Ia merasa ilmu yang diterima santri selama 6 atau 7 tahun masih sedikit dan belum memadai untuk menjadi tenaga pendidik. Untuk itu beliau mendirikan sekolah lanjutan Kulliyatul Mu’allimat El-Islamiyyah dan Darul Kutub demi meningkatkan kualitas calon guru tamatan Diniyyah Puteri.28
27 Wawancara dengan Ibu Dalius Djamal selaku alumni Diniyyah Puteri yang bertemu dengan bunda Rahmah dan menanyakan makna dari sekolah menenun untuk santri Diniyyah Puteri. 28 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 26.
Gambar 9: Penyelesaian Pembangunan Gedung Tingkat II (Kulliyatul Mua’allimat el- Islamiyyah)
Gambar 10: Gedung MA KMI Diniyyah Puteri Sekarang
Rahmah kemudian belum merasa puas dan ingin memberikan kesempatan belajar lebih banyak lagi kepada murid-muridnya. Untuk itu ia ingin membangun Universitas Islam khusus untuk puteri. Cita-cita ini terwujud dengan berdirinya Perguruan Tinggi Diniyyah Puteri (Al-Jami’atu al-Diniyyah li al-Banat) yang terdiri dari Fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Perguruan Tinggi ini diresmikan oleh Prof. Drs. Harun Zein pada tanggal 22 November 1967. Fakultas ini kemudian berganti nama menjadi fakultas Dirasat Islamiyah pada tanggal 3 Desember 1969. Hal yang menarik dari kampus ini adalah pengajaran mata kuliah kediniyyahan. Para mahasiswa diberi bekal terlebih dahulu untuk mengetahui seluk beluk kediniyyahan agar mereka mengerti dengan almamaternya. Hal yang diajarkan yaitu seputar perjalanan hidup Zainuddin Labay el-Yunusy karena beliau sosok inspiratif dan memiliki peranan penting dalam pendirian pondok Pesantren Diniyyah Puteri ini, kemudian mengenai Rahmah el-Yunusiyyah mulai dari masa kecil, perjuangan beliau pada tiga zaman yaitu Belanda, Jepang, Kemerdekaan, bagaimana sejarah mendirikan Diniyyah Puteri, cita-cita beliau yang belum tercapai, dan hal-hal apa saja yang bisa diteladani dari kepribadian beliau.29
Gambar 11: Gedung STIT lama (Sumber: PR Diniyyah Puteri)
29 Wawancara dengan Ibu Diana Sartika sebagai Dosen Mata Kuliah Kediniyyahan STIT DiniyyahPuteri Padang Panjang
Gambar 12: Gedung STIT Diniyyah Puteri versi sekarang
b. Sistem Pendidikan dan Kurikulum Diniyyah Puteri
Sistem pendidikan lembaga Diniyyah Puteri adalah Tritunggal, yaitu kerjasama yang erat antara lingkungan sekolah, asrama, rumah tangga dan masyarakat. Ketiga unsur yang berkaitan ini berupaya untuk membentuk anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu “Membentuk puteri berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aaktif, serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Pendidikan formal pada pagi hari diberikan di perguruan, secara informal dipraktekkan di asrama dibawah bimbingan pengasuh asrama. Ketika pulang ke rumah, materi yang didapat akan dipraktekkan di lingkungan masyarakat sekitar.30 Pendidikan yang diterapkan Rahmah adalah tolong menolong dan egoisme. Maksudnya adalah dalam lingkungan sosial di asrama saling membantu satu sama lain, namun ketika belajar di sekolah bersifat egois dalam artian harus jujur bekerja sendiri dalam mengerjakan tugas maupun ujian.31
Untuk kurikulum yang diterapkan di Diniyyah Puteri mengacu pada Kurikulum kementrian Agama, kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, dan Pondok Pesantren Diniyyah Puteri. Tiga kurikulum ini diterapkan dengan
30 Aminuddin Rasyad, Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah,...hlm. 91. 31 Wawancara dengan Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Diniyyah Puteri Padang Panjang, Bapak Fauzi Fauzan, Lc. Beliau merupakan cicit dari Rahmah el-Yunusiyyah.
pendekatan Multiple Intelligence, artinya tidak ada kelas dan asrama unggul di Diniyyah Puteri. Adapun kurikulum yang terintegrasi adalah Quba Kurikulum. Quba merupakan singkatan dari Quran-Sunnah Brain Attitude yang artinya Alquran Sunnah memimpin kerja otak (Brain) yang terlihat dari sikap/akhlak (attitude). Hal ini bermakna bahwa pendidikan yang diterapkan di Diniyyah Puteri berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Kemampuan menjawab soal pada selembar kertas kecil hanya menjadi bagian kecil dalam mengukur kecerdasan santri. Seseorang tidak dapat dikatakan cerdas jika sikapnya bermasalah.32 Dalam kurikulum yang diterapkan ini, pendidikan karakter lebih diutamakan menyeimbangi dengan kecerdasan intelektual.
Gambar 13: Kepemimpinan Diniyyah Puteri dari Generasi ke Generasi (Sumber: Banner di Museum Rahmah el-Yunusiyyah)
3. Alumni-Alumni Terbaik yang Menjadi Figur Publik
Sejak berdirinya 1 November 1923, Diniyyah Puteri tercatat telah melahirkan banyak alumni dari generasi ke generasi. Beberapa diantaranya telah sukses merintis karir dan menjadi figur berpengaruh di sektor publik. Beberapa alumni tersebut diantaranya adalah pada generasi pertama Rasuna Said sebagai pahlawan nasional, dan Tinur M. Nur yang menjadi Penyiar RRI di Yogyakarta tahun 1945. Tinur merupakan Ibu dari sastrawan Indonesia yaitu Taufik Ismail. Pada masa
32 Fauziah Fauzan El-Muhammady, Membaca Tahapan Perkembangan Dalam Quba Curriculum, (Padangpanjang: Diniyyah Training Centre, tt), hlm. 1
Indonesia merdeka Tinur bertugas menjadi penyiar radio RRI Jogja yang menyiarkan siaran berbahasa arab untuk kawasan Timur Tengah. Pada generasi selanjutnya adalah Ibu Aisyah Amini yang menjadi anggota DPR/MPR pada tahun 1977-1997. Beliau memimpin politik Hankam selama 10 tahun dan tokoh politik Indonesia yang bergelar “singa podium”. Tan Sri Aisha Gani menjadi Menteri Sosial Malaysia pada tahun 1974-1983 dan ketua wanita Umno Malaysia pada tahun 1972-1984. Selanjutnya adalah Ibu Dra. Hj. Halimah Syukur pendiri pondok pesantren Diniyyah Puteri Lampung, Dra. Hj. Rosmaini, M.Pd pendiri pondok pesantren Diniyyah al-Azhar Lampung, Ibu Hj. Suryani Taher, Lc. MA pendiri at-Tahiriyah Jakarta, Ibu Emma Yohana anggota DPD RI, dan Ibu Nurhayati Subakat pendiri kosmetik Halal Wardah. Beliau adalah wanita pertama penerima Doktor Honoris Causa dari ITB Bandung.33 Alumni-alumni lainnya tersebar di berbagai daerah. Para alumni dinaungi dengan sebuah organisasi bernama IKD (Ikatan Keluarga Diniyyah) yang berpusat
di Jakarta.
33 Wawancara dengan Khairunnisa Hayati Yusrip yang merupakan Staff dari Unit Public Relation Diniyyah Puteri Padang Panjang
Gambar 14: Alumni-alumni Diniyyah Puteri Padang Panjang (Sumber: MuseumRahmah el-Yunusiyyah)
4. Prestasi dan Penghargaan
Dalam kurun waktu menuju satu abad, banyak tentunya proses dan tantangan yang dihadapi oleh pimpinan Diniyyah Puteri untuk mengembangkan pondok Pesantren hingga besar seperti saat sekarang ini. Semua itu tidak terlepas dari doa dan kerja keras yang luar biasa dari santri, para guru dan karyawan yang berada dalam lingkungan Diniyyah Puteri. Disini penulis akan sedikit memaparkan prestasi dan penghargaan dari Diniyyah Puteri.Pada tahun 2012, Diniyyah Puteri kedatangan tamu yaitu Bapak Bridgen Nabris Haska dan Bridgen KASAD Jendral George Toisutta. Dalam kesempatan tersebut
Bapak Nabris Haska memberikan kenang- kenangan sekaligus penghargaan berupa tugu yang didirikan di belakang gedung utama perguruan.Pada tahun 2013, Perguruan Diniyyah
Puteri mendapatkan penghargaan TOP 50 Leader Year 2013 dengan kategori Top Leading Education Award Winner yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan Nasional RI. Masih di tahun 2013, Rahmah el-Yunusiyyah, pendiri pondok Pesantren Diniyyah Puteri mendapatkan Anugerah Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden RI yang diserahkan kepada pimpinan perguruan Diniyyah Puteri di Istana Negara.34 Gambar 15: Tugu dari Bapak Nabris Haska
Gambar 16: Penyerahan Penghargaan oleh Bapak Presiden RI
34 Website www.diniyyahputeri.org , diakses pada tanggal 21 November 2020.
Gambar 17: Piagam Tanda Kehormatan dari Bapak Presiden RI
Dari kalangan santri sendiri banyak bentuk penghargaan yang telah diraih, beberapa diantaranya adalah Karya tulis baik berupa artikel, puisi, cerpen, opini, dll yang terbit di koran Singgalang dan Republika, penghargaan lomba menulis nasional, dll. Dari informasi yang penulis dapat dari Direktur Diniyyah Tahfidzhul Qur’an, sejauh ini Diniyyah Puteri telah melahirkan Hafidzah 30 Juz sebanyak 15 orang, terhitung dari tahun 2015.35
D. Baju Kuruang Basiba dan Lilik sebagai Ciri khas Santri
Pada abad ke-20, pakaian perempuan Minangkabau longgar dan tipis. Orang melayu secara umum menyebutnya baju kuruang. Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, sekiranya perlu untuk menilik lembaga pendidikan modern yang menjamur pada saat itu, terutama untuk perempuan. Sekolah-sekolah modern di Minangkabau, seperti Adabiyah School, dan sejumlah Sumatera Thawalib memiliki murid laki-laki dan perempuan. Di samping itu, ada sekolah yang konsentrasi kepada pendidikan
35 Wawancara dengan Nurhikmah, S.Pd sebagai Direktur Diniyyah Tahfidzul Qur’an Diniyyah Puteri Padang Panjang.
perempuan, yaitu lembaga pendidikan Amai Setia yang didirikan oleh Rohana Kudus di Koto Gadang dan Diniyyah Putri di Padang Panjang yang dikepalai oleh Rahmah el- Yunusiah.36
Di sekolah Diniyyah Puteri yang seluruh santrinya perempuan, Rahmah el- Yunusiah dan Rasuna Said merupakan figur penting, hal ini dilandasi dengan dua alasan. Pertama, komitmen mereka pada pendidikan Agama memperlihatkan bahwa cara berpakaian mereka adalah resepsi estetis terhadap ajaran agama Islam itu sendiri. Kedua, kedua figur tersebut menjadi gerbang untuk memahami cara berpakaian Muslimah Minangkabau saat itu. A.A.
Navis menggambarkan Rasuna Said menggunakan baju kuruang dengan mudawarah, melihat sejumlah foto Rahmah el-Yunusiyyah dan Rasuna Said yang beredar di Internet. Baju-baju adat perempuan Minangkabau berpola baju kuruang, yaitu baju yang longgar tanpa memperhatikan lekukan bentuk tubuh perempuan. Baju ini mirip dengan dress atau gaun pada umumnya. Akan tetapi, dress atau gaun lebih variatif sementara baju kuruang cukup monoton. Baju kuruang selalu ditemani
oleh rok atau kain panjang. Kain panjang (kodek) ini memiliki motif yang dekat dengan sarung. Istilah baju kuruang sendiri mencakup makna kodek. Artinya, baju kuruang adalah kesatuan antara pakaian atas sekaligus pakaian bawah dalam bentuk yang khas. Selain itu, baju kuruang dilengkapi dengan penutup kepala.37
Baju kuruang yang dipakai Rahmah yang kemudian menjadi ciri khas pakaian santri Diniyyah Puteri tersebut adalah baju kuruang basiba, yaitu pakaian yang longgar (lebarnya muat dua botol), tidak membentuk lekuk tubuh, dengan panjang baju sampai lutut dan memiliki kikik dan siba. Kikik pada baju kuruang basiba melambangkan perempuan di Minangkabau harus mempunyai beberapa sifat yaitu: adanya sifat raso jo pareso, adanya sifat malu, dan adanya sifat sopan santun, yaitu tiga sifat yang harus di jaga dan di junjung tinggi oleh perempuan Minangkabau. Hal ini seperti dalam pergaulan sesama besar antara laki-laki maupun perempuan, baik dalam keluarga atau famili maupun orang lain. Sedangkan siba adalah ulasan, yang menjelaskan bahwa perempuan di Minangkabau adalah perempuan yang taat pada agama yang memakai
36 Fadhli Lukman, “Sejarah Sosial Pakaian Penutup Kepala Muslimah di Sumatera Barat”, dalam Jurnal Musawa, Vol.13. No. 1, Januari, 2014, hlm. 50 37 Fadhli Lukman, “Sejarah Sosial Pakaian Penutup Kepala Muslimah di Sumatera Barat”, hlm. 51. baju yang longgar tidak membentuk lekuk tubuh, yang menutup aurat serta tidak tembus pandang.38
Selain baju kuruang basiba, ciri khas pakaian santri Diniyyah Puteri dilengkapi dengan penutup kepala yang disebut dengan Lilik atau Mudawwarah39. Lilik yang digunakan santri Diniyyah merupakan penutup kepala perempuan yang menjulur sampai ke dada dan terjuntai di bagian belakang sampai ke bahu. Kerudung ini merupakan perpaduan antara budaya arab dengan Minangkabau. Dilihat dari foto lama yang beredar di Internet, teman-teman Rahmah yang juga merupakan guru di Diniyyah bernama Rasuna Said dan Syamsidar Yahya memakai lilik serupa. Begitu pula dengan Ratna Sari, perempuan Pariaman yang 14 tahun lebih muda dari Rahmah, 4 tahun di bawah Buya Hamka dan Natsir. Kampanye pertama mengenai hijab dimulai pada tahun
1935, pada saat Rahmah dan Ratna bertugas menghadiri Kongres perempuan di Jakarta. Ratna Sari berpidato berapi-api berkampanye soal kerudung. Dalam Kongres ini Rahmah bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum wanita Indonesia memakai selendang.40
Di Diniyyah putri semua warganya baik itu santri, karyawan, ustadzah asrama, dan guru menggunakan kerudung serupa. Hal tersebut dikarenakan selendang lilik merupakan warisan budaya perguruan Diniyyah Puteri dari Rahmah el-Yunusiyyah yang harus dijaga kelestariannya. Setelah melakukan penelusuran, penulis menemukan sedikit perbedaan lilik Diniyyah dengan pondok pesantren lainnya. Dilihat dari bahan yang biasanya digunakan untuk membuat lilik adalah bahan voile yang ringan dan tipis, berbeda dengan pondok lain cenderung menggunakan kain katun yang lebih tebal.41
Cara pembuatannya dijahit manual oleh orang-orang terampil dengan jahit sangkut di pinggiran lilik. Cara penggunaannya pun memiliki aturan tersendiri, yaitu pada awal penggunaan bagian sebelah kiri lebih pendek dari yang kanan, kemudian beri spasi/jarak 2 cm antara lapisan pertama dan kedua, setelah itu atur hasil akhir lilik hingga bagian kiri dan kanan menjadi seimbang seimbang. Jangan lupa meletakkan 2 buah jarum pentul disisi kiri dan kanan setentang lipatan untuk mempermanis bentuk wajah.
38 Rahmawati, dkk, “Limpapeh Pada Baju Kuruang Basiba”, dalam Jurnal Seni Desain Dan Budaya Volume 3 No. 3 September 2018, hlm. 92. 39 Mudawarah atau Lilik muncul sebagai pengaruh reformasi pendidikan Islam sejak abad XX. Mudawwarah adalah pakaian pelajar di Madrasah, sedangkan yang bukan Madrasah akan menggunakan selendang. Kerudung ini menjadi ciri khas Minangkabau layaknya kebaya di Jawa. 40 Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, (Padang: Citra Budaya Indonesia, 2010), hlm. 427. 41 Ezi Fadilla, “Resepsi Terhadap Konsep Aurat dalam Al-Qur’an dan Hadis dalam Penggunaan Lilit”,...hlm 103.
Gambar 19: Baju Kuruang Basiba dan Lilik Diniyyah Puteri (Sumber: Model Fash Dy)
Gambar20: Pakaian Seragam dan Lilik Santri Diniyyah Puteri
Dari beberapa wawancara yang penulis lakukan kepada warga Diniyyah Puteri, terkait perspektif dan resepsi estetis mereka terhadap penggunaan lilik adalah, menurut Vera Putriani yang merupakan alumni Diniyyah Puteri sekaligus guru di tingkat MA/KMI Diniyyah Puteri:42 “ Saya sangat nyaman menggunakan lilik karena sesuai syariat dan menutup aurat. Dengan lilik ini saya terlihat lebih formal dan berwibawa sebagai perempuan.”Selanjutnya menurut Irma Febriani selaku mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) mengatakan:43
“Lilik Diniyyah Puteri ini memiliki ciri khas tersendiri seperti ada spasi/jarak antara kedua lapisan, jarum pentul di kiri dan kanan sejajar dengan area bibir, itu semua membuat saya lebih nyaman menggunakannya. Orang lain langsung bisa menilai saya adalah santri Diniyyah karena cara penggunaan lilit yang khas dan berbeda. Ketika memakai lilik saya merasa bangga karena membawa nama almamater kita dan langsung bisa dikenal oleh orang lain.”
Dari respon keduanya penulis dapat menyimpulkan bahwasanya lilik di Diniyyah Puteri memberikan rasa nyaman bagi penggunanya. Penggunaan lilik di Diniyyah Puteri berbeda dengan pondok pesantren lainnya. Hal ini menjadi tolak ukur masyarakat Padang Panjang untuk bisa langsung mengenali santri Diniyyah Puteri dengan warisan budaya berupa lilik yang digunakannya. Pakaian yang digunakan Rahmah berupa baju Kuruang dan Lilik merupakan warisan yang harus dilestarikan. Itu mengapa peraturan pondok Diniyyah Puteri mewajibkan santrinya menggunakan pakaian tersebut untuk belajar di Sekolah sebagai seragam dan dalam acara-acara formal.
E. Refleksi Sejarah
Dari penelusuran tokoh Rahmah el-Yunusiyyah mulai dari perjuangannya di tiga zaman, Sekolah Islam khusus Puteri yang didirikannya, kemudian gaya berpakaian (fashion) Muslimah yang diwariskannya, banyak hal yang dapat diteladani dari beliau. Rahmah adalah sosok yang sopan dan pemalu namun pemberani. Hal ini dibuktikan dengan berbagai perjuangan yang telah ia lakukan pada masa penjajangan Belanda, Jepang, dan Masa Kemerdekaan. Jiwa sosial yang tinggi darinya telah melahirkan kontribusi luar biasa yang membuat dirinya dikenal dan disegani banyak kalangan. Beliau telah berupaya menaikkan derjat perempuan dengan sekolah khusus puteri yang dibangunnya. Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam
42 Wawancara dengan Vera Putriani selaku alumni dan Guru MA/KMI Diniyyah Puteri 43 Wawancara dengan Irma Febriani selaku mahasiswi STIT Diniyyah Puteri
pendidikan dan berkontribusi di sektor publik, tanpa melupakan fitrah perempuan sebagai seorang Ibu di ranah domestik. Semangat juang Rahmah ini tentunya dapat diteladani oleh generasi muda penerus zaman kini. Semoga akan lahir sosok Rahmah yang akan meneruskan perjuangan pada generasi selanjutnya. Sekolah Diniyyah Puteri di Padang Panjang merupakan saksi sejarah beliau dalam memperjuangkan pendidikan perempuan di zamannya. Jika Cut Nyak Dien berjuang dengan senjatanya, R.A Kartini melalui surat-suratnya, maka Syekhah Rahmah el-Yunusiyyah berjuang dengan pendidikannya di Padang Panjang
Sumber:
Chaniago, Hasril. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia.2010
El-Muhammady, Fauziah Fauzan. tt. Membaca Tahapan Perkembangan Dalam Quba
Curriculum. Padangpanjang: Diniyyah Training Centre
Fadilla, Ezi. 2017. “Resepsi Terhadap Konsep Aurat dalam Al-Qur’an dan Hadis dalam
Penggunaan Lilit” dalam Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Hamruni. 2004. “Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El-Yunusiyyah”. Dalam
Jurnal Kependidikan Islam. Vol II, No 1
Isnaini, Luluk Rohmatun. 2016. “Ulama Perempuan Dan Dedikasinya Dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vol I. No. 1
Lukman, Fadhli. “Sejarah Sosial Pakaian Penutup Kepala Muslimah di Sumatera Barat”,
dalam Jurnal Musawa, Vol.13. No. 1, Januari, 2014
Milestone Perjuangan Rahmah el-Yunusiyyah di Museum Rahmah el-Yunusiyyah
Nafilah Abdullah, “Rahmah El Yunusiyyah Kartini Padang Panjang (1900-1969)” dalam Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial (1900-1969), Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2016
Rasyad, Aminuddin. 2019. Rahmah el Yunusiyah: Sang Pendidik Bergelar Syaikhah.
Padang Panjang: DRC Publishing
Rahmawati, dkk, “Limpapeh Pada Baju Kuruang Basiba”, dalam Jurnal Seni Desain Dan
Budaya Volume 3 No. 3 September 2018
Tim Penyusun. Peringatan 55 Th Diniyah Putri Padang Panjang. Jakarta: Ghalia Indonesia
Website Diniyyah Puteri www.diniyyahputri.org diakses pada tanggal 21 November 2020
Wulandari, Prilia. “Perempuan Di Sektor Publik Dalam Perspektif Islam (Pandangan Progresif Rahmah El-Yunusiyah Dalam Kepemimpinan Sebagai Ulama Dan Pelopor Pendidikan Muslimah Indonesia)”, dalam Jurnal Agenda, Vol I, No, I, Desember 2017
Wawancara:
Wawancara dengan Kepala Departemen Sumber Daya Manusia Diniyyah Puteri Padang Panjang, Bapak Fauzi Fauzan, Lc. Beliau merupakan cicit dari Rahmah el- Yunusiyyah pada tanggal 21 November 2020
Wawancara dengan Nurhikmah, S.Pd sebagai Direktur Diniyyah Tahfidzul Qur’an
Diniyyah Puteri Padang Panjang pada tanggal 21 November 2020
Wawancara dengan Ibu Diana Sartika sebagai Dosen Mata Kuliah Kediniyyahan STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang pada tanggal 22 November 2020
Wawancara dengan Ibu Dalius Djamal selaku alumni Diniyyah Puteri yang bertemu dengan bunda Rahmah pada tanggal 22 November 2020
Wawancara dengan Vera Putriani selaku alumni dan Guru MA/KMI Diniyyah Puteri pada tanggal 22 November 2020
Wawancara dengan Irma Febriani selaku mahasiswi STIT Diniyyah Puteri pada tanggal 22 November 2020
Wawancara dengan Khairunnisa Hayati Yusrip yang merupakan Staff dari Unit Public
Relation Diniyyah Puteri Padang Panjang pada tanggal 21 November 2020
Dokumentasi Penelusuran
Gambar proses wawancara dan penelusuran Informasi