Menelusuri Sejarah 102 Tahun Lubuk Mata Kucing : Mandi Berkecimpung di Lubuk Ajer Minburun

Oleh Dedi Arsa

 

Kapal wisata Franconia berlayar dari Eropa ke Emma Haven (Teluk Bayur). Setelah berkeliling sebentar di dataran rendah (Padang), ratusan penumpangnya lantas menaiki dataran tinggi dengan kereta api. Beberapa yang lain memilih berangkat dengan mobil. Mereka hendak mengunjungi di antaranya salah satu kota di pedalaman Minangkabau yang mempesona: Padang Panjang.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie pada 1925 melaporkan tentang rombongan pelancong dari Eropa itu:

“Kapal wisata Franconia tiba di Emma Haven pagi ini. Seorang penumpang meninggal selama perjalanan; pemakaman berlangsung di laut. Sekitar 300 wisatawan berangkat dengan kereta ekstra ke Padang Panjang; yang lain pergi dengan mobil. Semua penumpang kapal wisata mewah itu adalah orang Eropa.”

 

Alam Padang Panjang yang indah dan budayanya yang unik rupanya sudah cukup lama menjadi tujuan pelancongan. Mula-mula yang menikmati keindahan alam dan keunikan budaya itu hanya wisatawan dari kalangan pejabat kolonial Hindia Belanda dari Batavia yang melakukan turne ke sini. Namun, menyusul selesainya pembangunan pelabuhan di Teluk Bayur pada tahun 1893, kapal-kapal dari Eropa pun secara reguler singgah di Padang, untuk kemudian penumpangnya meneruskan perjalanan ke dataran tinggi baik dengan mobil ataupun kereta api. Mereka mengunjungi kota-kota semisal Fort de Kock dan Payakumbuh, dan tidak terkecuali Padang Panjang. Di kota dingin ini, rombongan tersebut di antaranya berwisata ke Lubuk Mata Kucing. Mandi-mandi berkecimpung atau berleha-leha sembari menikmati keindahan alam.

Artikel ini merupakan hasil penelusuran saya dalam menelusuri jejak-jejak sejarah dari salah satu destinasi wisata unggulan Padang Panjang sejak dahulu, sudah menjadi buah bibir sejak lama bahkan masih hingga kini. Menelusurinya juga akan tergambarkan bagaimana masyarakat kota kecil ini di masa lalu berekreasi atau bertamasya, atau piknik, dan lain-lain nama.

***

 

Di waktu pakansi sekolah tiba, Hamka Kecil dan teman-temannya pergilah mandi berjam-jam “berendam di Lubuk Mata Kucing”. Itulah yang diceritakan Buya kepada kita tentang tempat pemandian terkenal itu dalam buku Kenang-kenangan Hidup-nya.

Dalam romannya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Hamka juga menulis pengalaman tokohnya berekreasi ke destinasi yang sama terutama bila cuaca tengah mendukung. Katanya, “Bila hari panas kita pergi mandi-mandi ke Lubuk Mata Kucing.”

Sejak dibangun pada awal abad ke-20, tempat ini memang telah menjadi destinasi wisata populer. Tidak saja bagi kalangan pribumi, ia juga meninggalkan kesan yang mendalam bagi kalangan Eropa dan Indo-Eropa yang mengunjunginya. Setiap buku kenang-kenangan dan catatan pelancongan orang asing yang pernah ditulis tentang Padang Panjang, nyaris tidak pernah mengabaikannya. Bacalah misalnya Inter Ocean edisi X (saya temukan di PDIKM Padang Panjang) yang khusus menghadirkan ‘panduan wisata’ ke dataran tinggi Minangkabau. Majalah terbitan Desember 1927 itu, selain menyarankan menyinggahi kota-kota semisal Fort de Kock dan Payakumbuh pelancong juga direkomendasikan untuk menikmati kota kecil Padang Panjang dengan Lubuk Mata Kucing-nya.

Kooderings Clemens, seorang penulis-pelancong asal Eropa, yang menulis artikel bertajuk "A Few Notes on the Padang Highlands" dalam majalah jalan-jalan terkenal itu melaporkan bahwa di kota kecil tersebut terdapat tempat pemandian yang banyak dikunjungi orang:

"Padang Pandjang is only a small place but close to it one finds the most frequented bathing resort of the residency, Lubuk Mata Kuching, situated close to the Anei river"

 

Nama Lubuk Mata Kucing sendiri diambilkan dari gambaran kondisi air di tempat itu, yang memang berwarna biru terang dan jernih, seperti layaknya kilau mata kucing. Letaknya di antara Bukit Surungan dan sungai Batang Anai yang mengalir dari Gunung Singgalang. Ingatan pribumi kadang menyebutnya ‘walkoen’. Barangkali nama itu berasal dari 'welkom'—penamaan dalam Belanda untuk taman ‘selamat datang’ yang dilengkapi dengan tempat mandi-mandi atau kolam pemandian. 

Nama lainnya adalah “Lubuk Ajer Minburun”.

Yang terakhir ini adalah pengucapan seorang Eropa yang mencatatkan pengalamannya bertamasya ke kota itu. Clara Elisabeth Chevalier, si gadis kecil Eropa, adalah cucu dari si pembuat. 

***

Henri Alphons Chevalier, kakek si gadis kecil, adalah arsitek pembangun tempat pemandian itu. Henri merampungkan pengerjaannya pada tahun 1918. Lahir di Padang pada 24 Oktober 1848, Henri menikahi Clara Rozenburg pada 1884 di Padang Panjang, dan memilih tinggal di permukiman Eropa di kota itu, tepatnya di Guguk Malintang.

“Kakek kami tinggal di Goegoe Melintang”. begitulah yang ditulis cucunya, Clara, dalam Indische Herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier. Clara menulis kenang-kenangan tentang perjalanan pakansi bersama keluarganya ke kota itu ketika dia masih gadis kecil.

“Saya masih di sekolah dasar ketika itu,” kenang Clara. Mereka datang dari dataran rendah (maksudnya Padang), menaiki jalan berliku di Anai, “pergi dengan 2 Hudsons 7 penumpang” untuk mengunjungi Padang Panjang tempat di mana kakek Henri mereka tinggal. 

Clara, selengkapnya:

“Teman ayah, Chatellin, dan Paman Dollie, sering pergi bersama kami. Dia bisa memainkan biola dengan sangat baik. Teman-teman lelaki yang besar juga terkadang datang, seperti Arie Snackey, yang bermain gitar dengan baik. Tetangga mereka, Tuan Simon dan istrinya, yang telah menyewa rumah lain dari rumah Ayah, juga datang dan kemudian musik anak muda dan Hawaii mulai dinyanyikan.”

 

Clara mengenang saat-saat mereka sering pergi berenang ke Lubuk Mata Kucing. Mereka menghabiskan masa pakansi sekolah dengan bersenang-senang bersama kesegaaran dan kemilau air di kolam pemandian itu:

"Overdag gingen we vaak zwemmen in het zwembad Lubuk Ajer Minburun vaak in de volksmond ook Lubuk Mata Kutjing genoemd. Het boven bad was rechthoekig van vorm en tegen de bergwand aangebouwd. In dit water zwommen grote goudvissen."

Terjemahannya:

“Siang hari kami sering pergi berenang di kolam Lubuk Ajer Minburun yang sering juga disebut Lubuk Mata Kutjing. Kolam renang di bagian atas berbentuk persegi panjang dan bersandar di sisi gunung. Ikan-ikan mas besar berenang di air ini.”

 

Bagaimana bentuk dan wahana yang tersedia di kompleks pemandian itu ketika pertama-tama dibuat? Clara menceritakan tentang lubang pembuangan air di pemandian itu, yang letaknya dibuat di bagian tengah kolam-kolam. Lubang itu dilengkapi dengan jaring-jaring untuk mencegah ikan-ikan keluar. Berarti, bukan saja tempat pemandian belaka, kolam-kolam di sana juga diisi ikan-ikan, tapi Clara tidak menceritakan lebih jauh tentang keberadaan ikan-ikan itu kecuali menyinggungnya sekilas. Hanya dikisahkan Clara lebih lanjut, kalau mata air murni dari pegunungan ini kemudian mengalir ke kolam renang besar di bawahnya dengan area kolam dangkal untuk anak-anak kecil dan area yang dalam dengan papan loncat untuk perenang berpengalaman. Kemudian, saluran pembuangan itu, kata Clara, juga dibangun dari atas ke kolam-kolam renang tersebut.

Keluarga Chevaliers itu memiliki akses gratis ke sana, karena “Kakek kami Henri Alphons Chevalier membangun seluruh kompleks renang,” begitu kata Clara, terdengar bangga.

***

Setelah Indonesia merdeka, Lubuk Mata Kucing semakin populer sebagai destinasi wisata.

“Wah, bukan main dingin air di situ,” demikian dikatakan dalam Minangkabau Tanah Adat, buku catatan pelacongan sebuah keluarga Minangkabau pada 1950 yang ditulis Ny. Limbak Tjahaja.

Selengkapnya buku itu mencatat:

“… [A]chirnja sampai ketempat mandi2 Lubuk Mata Kutjing. Ikannja banjak dan djinak. ‘Pantas dia bernama sedemikian’ kata si Emran, karena airnja berwarna djernih gandjil.”

 

Pada zaman Orde Baru, Lubuk Mata Kucing dipercantik pemerinta kota, diperlengkapi kupel-kupel di tubir bukit sebagai tempat bersantai dan beristirahat para pengunjung. Pada 1972, majalah Aneka Minang misalnya melaporkan tentang pemandangan Lubuk Mata Kucing yang telah diperbaharui itu:

"Suatu pemandian jang airnja sedjuk dan bening ... diperlengkapi dengan kupel2 tempat beristirahat bagi pengundjung2".

 

Dikatakatan majalah itu kalau tempat itu pada masa tersebut merupakan "satu2nja objek rekreasi jang tersebut” di kota Padang Panjang.

Pada 1991, kompleks pemandian itu direnovasi lagi secara lebih signifikan. Dasar dan dinding kolam renang utama diberi keramik, tetapi kolam yang berbatas dengan tebing-bukit masih dipertahankan bentuk aslinya. Kupel-kupel lama yang dibangun pada awal Orde Baru juga masih tetap dipertahankan, tetapi bungalo-bungalo baru ada juga yang ditambahkan. Bangunan baru berlantai dua dibangun, di mana di sana mencakup loket karcis, cafetaria, kantor untuk petugas, toilet dan kamar ganti lebih diperbanyak. Atapnya masih mempertahankan arsitektur bergonjong sekalipun bangunannya telah diperbaharui. Di pinggir kolam utama bagian atas-kanan juga dibangun tribun bagi para penonton dan pengunjung. “Renovasi besar-besaran ini terkait ditunjuknya kota Padang Panjang sebagai tuan rumah Porda [Pekan Olahraga Daerah],” kata Nofrizal M., mantan atlet renang yang sekarang menjadi petugas keamanan sekaligus pelatih renang di kompleks pemandian itu.

Sekarang, Lubuk Mata Kucing masih sama menggodanya untuk dikunjungi sebagaimana lebih satu abad yang lalu dia telah dibuat (tepatnya 102 tahun yang silam). Airnya masih berkilau-kilau jernih persis seperti namanya. Kolam-kolam untuk para perenang handal (untuk sport),  kolam untuk amatir, kolam dangkal untuk anak-anak, bungalo-bungalo dan kupel-kupel di pinggir-pinggir kolam berbatas dengan dinding-tebing bukit yang hijau-rimbun oleh pohon-pohon masih tersedia. Pengunjung tetap banyak berdatangan dan akan semakin ramai ketika hari pakansi tiba (bahkan di saat pandemi seperti saat ini). Sekalipun tidak sepopuler dulu, sebab destinasi wisata air telah banyak bermunculan di mana-mana dengan wahana-wahana air yang lebih beragam, tetapi tiap datang ke Lubuk Mata Kucing nilai melankolianya sebagai destinasi wisata air yang bersejarah masih tetap menggoda banyak pengunjung.

Jika ingin membuatnya lebih maju lagi, tertumpang pada keseriusan dan kreatifitas pemerintah kota untuk membuatnya bersesuai dengan ‘selera’ zaman. "Misalnya dengan menghadirkan wahana-wahana baru,” kata Nofrizal menutup pembicaraan.

Pandai Sikek, 2020

 

DAFTAR REFERENSI

  1. “Franconia”, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07 July 1925.
  2. “Padang Pandjang Kota Serambi Mekah”, Aneka Minang, No. 03, Edisi 16-28 Februari 1972.
  3. Hamka. 1984. Tenggelamnya Kapal van der Wijk. (Cet. ke- 22). Jakarta: Bulan Bintang. 
  4. Hamka. 2019. Kenang-kenangan Hidup. Depok: Gema Insani.
  5. Kooderings Clemens. "A Few Notes on the Padang Highlands", Inter Ocean, Vol X, Januari-Desember 1927 (The Official Tourist Bureucrat Weltevreden Java).
  6. Limbak Tjahaja. 1955. Minangkabau Tanah Adat. Jakarta, Bandung, Amsterdam: Ganaco NV.
  7. Ronny Geenen. 2016. “Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier”. https://myindoworld.com/indische-herinneringen-van-clara-elisabeth-chevalier.
  8. Wawancara dengan Adi Putra. (42 tahun) di Lubuk Mata Kucing, 15 November 2020.
  9. Wawancara dengan Nofrizal M. (49 tahun) di Lubuk Mata Kucing, 15 November 2020.

 

FOTO & DOKUMENTASI

Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier2

Gambar 1: Clara kecil sedang bermain perahu di pemandian Lubuk Mata Kucing yang selesai dibangun kakeknya Henri Alphons Chevalier pada 1918. Sumber: Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier

Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier1

Gambar 2: Clara kecil dan keluarga besar Henri sedang menikmati pakansi mereka dengan melancong ke pemandian Lubuk Mata Kucing. Sumber: Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier

Gambar 3: Clara Elisabeth Chevalier sedang berada di serambi rumahnya di Belanda, ia merupakan cucu dari Henri Alphons Chevalier si arsitek/perancang Lubuk Mata Kucing. Sumber: Indische herinneringen van Clara Elisabeth Chevalier

Gambar 4: Pada zaman Orde Baru, Lubuk Mata Kucing dipercantik pemerinta kota, diperlengkapi kupel-kupel di tubir bukit sebagai tempat bersantai dan beristirahat para pengunjung. Sumber: “Padang Pandjang Kota Serambi Mekah”, Aneka Minang, No. 3 tahun 1972.

 

Gambar 5: Pemandangan di Lubuk Mata Kucing saat pandemi (diambil 15 November 2020). Bandingkan dengan foto sebelumnya: Kupel-kupel lama masih tampak berdiri sekalipun sudah ditutupi perdu, dasar dan dinding kolam utama juga sudah dikeramik tetapi kolam yang berbatas dengan tebing-bukit masih dipertahankan bentuk lamanya. Sumber: Dokumen pribadi.

 

Gambar 6: Pemandangan di Lubuk Mata Kucing saat pandemi (diambil 15 November 2020). Destinasi wisata air ini tampak tetap ramai dikunjungi wisatawan sekalipun jumlahnya dibatasi petugas. Sumber: Dokumen pribadi.

 

Gambar 7: Nofrizal M. (narasumber, petugas keamanan merangkap pelatih renang) dan penulis saat melakukan wawancara pada 15 November 2020 di Lubuk Mata Kucing. Sumber: Dokumen pribadi.

 

Gambar 8: Penulis saat melakukan penelusuran data-data tertulis di PDIKM Padang Pandang pada 15 November 2020. Sumber: Dokumen pribadi.

Gambar 9: Karcis masuk Lubuk Mata Kucing dan PDIKM Padang Panjang sebagai bukti kunjungan dalam rangka penelusuran data-data/informasi terkait objek penulisan. Sumber: Dokumen pribadi.